Kesetaraan

Kesetaraan merujuk pada aspek distribusi biaya dan manfaat serta aspek prosedur dalam pengambilan keputusan menurut konteks akses, kekuasaan, dan kemampuan[1].

Kesetaraan dapat berupa:

  • Konstektual/akses
  • Prosedural/pengambilan keputusan
  • Distribusi

Kontekstual/akses

Kesetaraan konstektual merujuk pada konteks sosial dan kemampuan.

Memperoleh akses terhadap manfaat REDD+ membutuhkan proses yang sering kali di luar kemampuan masyarakat lokal. Pemerataan kontekstual melibatkan keadaan sebelumnya yang memungkinkan atau menghambat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, akses akan sumber daya, dan manfaat yang dihasilkan. Pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan konteks sosial dan politik sebagai akar dari ketidakmerataan dalam merancang intervensi REDD+ di tingkat lokal.

Sebuah studi yang menilai dampak dua proyek dengan pembayaran jasa lingkungan kepada masyarakat (PES/REDD+) mencoba memahami sejauh mana proyek dapat menangani masalah kesetaraan. Ada beberpa temuan yang mengejutkan. Studi yang mengkaji PES (Pembayaran Jasa Ekosistem) Nomedjoh–Nkolenyeng dan proyek REDD+ Ngoyla–Mintom, menemukan bahwa tidak selalu masyarakat pribumi dirugikan oleh proyek dibandingkan kelompok etnis lokal yang dominan ditinjau dari i pemerataan prosedural dan distributif. Masyarakat pribumi Baka mungkin lebih dapat berpartisipasi dan mendapat manfaat dari proyek Nomedjoh–Nkolenyeng daripada kelompok etnis dominan lokal (Bantu), sedangkan untuk proyek Ngoyla–Mintom sebaliknya. Hal ini disebabkan antara lain oleh faktor konstektual seperti pendidikan yang rendah dan kurangnya pengalaman sebelumnya oleh masyarakat Baka di Nomedjoh–Nkolenyeng yang mendorong pertemuan yang lebih sensitif, dengan tambahan waktu dan usaha lebih untuk memastikan penduduk desa memahami proyek dan menjelaskan manfaat proyek serta melestarikan hutan.

Selain itu, pada Nomedjoh–Nkolenyeng, proyek sangat didukung oleh LSM pribumi dan “tokoh lokal”, yang meyakini nilai proyek dan karena itu memobilisasi waktu dan pengetahuan untuk memajukan proyek di Desa Baka. Desa Baka di Ngoyla-Mintom tidak memiliki “tokoh lokal”. Studi menggarisbawahi peran faktor konstektual yang berhubungan dengan kemampuan teknis kekuasaan, gender, tingkat pendidikan, dan kekayaan menentukan kemungkinan individu untuk berpertisipasi dan mendapatkan manfaat dari proyek[2].

Sebuah studi yang meneliti desa Buya I di DRC mengidentifikasi risiko penting untuk sector-sektor penduduk yang tidak memiliki fitur kontekstual yang diperlukan untuk mendapat manfaat dari implementasi REDD+. Para peneliti mengkaji potensi hasil distribusi pembagian manfaat berdasarkan lima alasan berbeda untuk: 1) aktor dengan hak hukum; 2) aktor yang mencapai pengurangan atau penghilangan emisi; 3) pengelola hutan dengan emisi rendah; 4) aktor yang menanggung biaya; dan 5) masyarakat miskin dan rentan (pendekatan pro-miskin).

Meneliti potensi hasil distribusi dari lima alasan berbeda untuk pembagian manfaat:

  • Aktor dengan hak legal: Dengan asumsi bahwa hukum adat diakui, sebagaimana ditentukan dalam konstitusi 2006, hanya pemegang hak yang diuntungkan, mewakili sekitar sepertiga rumah tangga dalam studi kasus.
  • Aktor yang mencapai pengurangan atau penghilangan emisi: Pemegang hak adalah mereka yang membuka wilayah luas dan yang dapat berpartisipasi dalam peningkatan stok karbon karena mereka memegang hak atas tanah tersebut. Dalam konteks ini skema insentif akan mendorong perubahan perilaku bagi mereka yang berdampak pada keputusan penggunaan lahan.
  • Pengelola hutan dengan emisi rendah: Manfaat pelestarian hutan rawa di sekitar masyarakat bisa terdistribusi merata di antara warga desa. Namun, karena hutan rawa sudah dikonservasi di bawah BAU, tidak akan ada manfaat tambahan. Potensi penanaman padi di hutan rawa masih merupakan ancaman deforestasi yang perlu dievaluasi.
  • Aktor yang menanggung biaya: Sebuah analisis yang cermat dari jenis biaya akan diperlukan, dengan biaya langsung lebih mungkin untuk dikompensasi. Biaya tidak langsung seperti berkurangnya lahan yang tersedia untuk disewa oleh pemegang non-hak tidak mungkin dikompensasi.
  • Masyarakat miskin dan rentan (pendekatan pro-miskin): Hal ini merupakan satu-satunya skema yang berpotensi mengatasi masalah kesetaraan dengan menciptakan kompensasi bagi pemegang non-hak serta masyarakat adat, perempuan, dan migran.

Pada akhirnya, para peneliti menemukan bahwa, setidaknya di DRC, sektor penduduk yang paling diuntungkan dari REDD+ adalah pemegang hak pribumi –yang merupakan minoritas dari keseluruhan populasi– karena perbedaan sosial antara gender dan kelompok etnis. Para peneliti menyarankan manajemen adaptif yang fleksibel dan pendekatan yang sadar akan kesetaraan untuk mendorong perilaku pemegang hak terhadap peningkatan stok karbon dan memberikan manfaat pembangunan bagi mayoritas, termasuk kelompok yang terpinggirkan, untuk mengarah pada distribusi manfaat yang lebih luas.

Diambil dari: Pelletier et al. (2018[3].

Prosedural/pengambilan keputusan

Kesetaraan prosedural merujuk pada partisipasi pengambilan keputusan dan negosiasi kepentingan yang bersaing. Hal ini melibatkan penanganan persepsi keadilan dan legitimasi proses politik yang mengarah pada pengambilan keputusan. Dalam konteks REDD+, kesetaraan prosedural melibatkan penetapan standar yang menghormati prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC) dan partisipasi masyarakat pribumi dan lokal dalam desain dan implementasi intervensi REDD+.

Sebuah studi yang berfokus pada peran kesetaraan membandingkan dua proyek – Nomedjoh–Nkolenyeng PES (Jasa Pembayaran ekosistem) dan proyek REDD+ Ngoyla–Mintom, dalam enam desa di Lembah Kongo Kamerun– menemukan proses FPIC yang lebih kompleks dan memakan waktu, yang dimaksudkan untuk menangani dan mengurangi ketidaksetaraan, sebenarnya dapat memperkuat ketidakseimbangan kekuasaan. Proyek Ngoyla–Mintom lebih banyak memiliki paparan terhadap proses FPIC daripada proyek Nomedjoh–Nkolenyeng dalam bentuk informasi lebih lanjut, diskusi dan pelatihan tentang proses FPIC. Namun, proyek Ngoyla–Mintom, yang mengadopsi proses FPIC bertingkat yang jauh lebih rumit dan memakan waktu, tidak menunjukan peningkatan yang nyata dalam jumlah perempuan, pemuda, dan petani migran yang mengaku telah cukup terlibat dalam proses keputusan pemberian persetujuan. Para peneliti menyimpulkan bahwa proses FPIC yang lebih lama dan lebih kompleks memberikan waktu kepada kelompok-kelompok berkuasa untuk memberikan tekanan internal sehingga mereka menang dalam perebutan kepentingan terkait proyek.

Secara keseluruhan, FPIC bukanlah peluru perak. Proyek yang berinvestasi dalam proses FPIC yang jauh lebih kompleks dan memakan waktu daripada yang lain, tidak memiliki hasil yang lebih setara. Bahkan proses FPIC yang sederhana dan baru dapat berdampak positif di lapangan dan mungkin kurang rentan terhadap pengaruh kelompok lokal dibandingkan dengan kelompok yang lebih canggih dan lebih lama. Ke depannya, pedoman FPIC harus dilihat sebagai seperangkat alat kebijakan yang dirancang secara eksternal dengan niat baik untuk upaya pelestarian hutan sembari meningkatkan mata pencarian dengan menggunakan pendekatan yang partisipatif dan inklusif. Berdasarkan penelitian berbasis pengetahuan lokal, pedoman ini harus disesuaikan dengan hati-hati kepada konteks lokal dan proses FPIC harus dirancang agar tidak terlalu rentan terhadap tuntutan kelompok dominan dengan upaya tambahan dilakukan untuk menargetkan mereka yang kurang dominan. Penelitian yang ditargetkan sebelum intervensi kebijakan dapat membantu pelaksanaan untuk lebih memahami ekonomi politik lokal dan, karenanya, mengidentifikasi ketidaksetaraan yang berpotensi untuk diatasi melalui intervensi yang disesuaikan dengan konteks lokal[4].

Distribusi

Kesetaraan distribusi merujuk pada alokasi manfaat dan biaya di antara para pemangku kepentingan melalui penciptaan mekanisme pembagian manfaat. Fokus ada pada keadilan hasil REDD+.

Intervensi REDD+ harus didesain untuk mendorong perubahan perilaku yang dapat mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan. Ada berbagai tujuan dan alasan tentang siapa yang harus mendapatkan manfaat dari REDD+ dan mengapa mereka harus mendapat insentif. Hal ini menunjukkan i bahwa kesetaraan diartikan secara berbeda di antara para aktor.

Proyek percontohan REDD+ yang disebut CliPAD yang di laksanakan di dua desa di Provinsi Huaphan di utara Laos, yaitu Ban Lao-Khmu dan Ban Hmong, menyoroti bagaimana kurangnya perhatian terhadap kesetaraan sosial dapat berdampak negatif pada keadilan dan menyebakan kurangnya dukungan untuk program REDD+ kelompok etnis minoritas. Meskipun pertemuan perencanaan REDD+ dilakukan secara terbuka untuk semua, tanpa memandang ras dan etnis, berbagai kendala sosial menyebabkan penerimaan berbeda antara kelompok etnis berbeda. Banyak orang Hmong terlihat menolak intervensi proyek dengan memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pertemuan, dan secara keseluruhan, dukungan Hmong untuk proyek REDD+ rendah.

Hubungan etnis, gender, dan sejarah dengan negara merupakan faktor kritis yang membentuk kondisi keadilan prosedural, distribusi, dan pengakuan, sebagaimana dibuktikan oleh tingkat partisipasi, kepercayaan pada aktor eksternal dan inisiasi dari dua desa studi yang dihuni oleh kelompok etnis dengan identitas kultur sosial yang berbeda dengan negara. Kenyataan bahwa orang Hmong memiliki sejarah, budaya, dan keterlibatan politik yang berbeda diabaikan dalam desain dan implementasi proyek percontohan REDD+, dan lalu menjadi penghalang bagi keterlibatan Hmong dan bertentangan dengan prinsip-prinsip FPIC untuk penentuan budaya sendiri.

Sebagai contoh, penduduk Hmong di Ban Hmong memilih untuk tidak mengikuti pertemuan perencanaan REDD+ karena merasa suara mereka tidak akan didengar dalam keputusan akhir, dan kehadiran mereka dianggap sebagai persetujuan terhadap keputusan yang dibuat sebelumnya. Taktik penduduk untuk menahan diri adalah stratedi penolakan terhadap tidak diakuinya hak politik dan penentuan nasib sendiri. Selain itu, penggunaan Bahasa Lao juga merupakan kendala menghadiri dan berpartisipasi secara efektif. Penduduk Hmong berpendapat bahwa mereka diundang untuk mendengarkan pertemuan yang dilakukan dalam bahasa yang sebagian besar tidak mereka pahami. Akhirnya, kurangnya kepercayaan pada pihak luar dan prosedur kelembagaan, baik pemerintah Laos maupun pihak asing, juga mendorongkeputusan penduduk untuk memilih tidak berpartisipasi dalam pertemuan dan kegiatan proyek. Ketidakpercayaan ini membuat masyarakat takut hutan mereka diambil alih oleh proyek dan pemerintah.

Proses perencanaan penggunaan lahan dan hutan desa menyebabkan penerapan kebijakan dan aturan formal negara yang sebelumnya kurang dikenal di atas aturan dan praktik tradisional yang informal yang telah ada. Secara keseluruhan, etnis Lao paling setuju dan menerima i proyek tersebut dan diikuti oleh Khmu di Ban Lao-Khmu, sedangkan di kalanganetnis Hmong Ban Hmong, proyek hamper tidak mendapat dukungan. Kasus ini menyoroti bagaimana kurangnya hak penentuan budaya dan identitas sendiri, kekuasaan asimetris antara aktor negara dan non-negara, kurangnya pemberdayaan masyarakat lokal, dan kegagalan untuk mengenali struktur dan aturan tradisional menghambat pencapaian kesetaraan distributif[5].

Sumber

[1] Angelsen, A. ed., 2009. Realising REDD+: National strategy and policy options. Bogor, Indonesia: CIFOR.

[2],[4] Tegegne, Y.T., Palmer, C., Wunder, S., Moustapha, N.M., Fobissie, K., Moro, E., 2021. REDD+ and equity outcomes: Two cases from Cameroon. Environmental Science & Policy 124, 324–335.

[3] Pelletier, J., Horning, N., Laporte, N., Samndong, R.A., Goetz, S., 2018. Anticipating social equity impacts in REDD+ policy design: An example from the Democratic Republic of Congo. Land Use Policy 75, 102–115.

[5] Ramcilovic-Suominen, S., Carodenuto, S., McDermott, C., Hiedanpää, J., 2021. Environmental justice and REDD+ safeguards in Laos: Lessons from an authoritarian political regime. Ambio 50, 2256–2271.