Penegakkan hukum

Penegakan hukum harus kuat agar perlindungan hutan dari deforestasi dan degradasi hutan illegal menjadi efektif. Penegakan hukum yang lemah sering berasal dari kurangnya kapasitas para penegak hukum, koordinasi yang buruk antar para pemangku kepentingan, masalah kepemilikan tanah dan kekeliruan atau perebutan klaim, dan ketidakampuan pemerintah menjalankan kebijakan dan menegakkan aturan/hukum secara jelas dan transparan. Korupsi juga bisa menjadi masalah, dengan kolusi di antara kelompok besar yang menjadi pendorong deforestasi dan mereka yang berkuasa menjadi kekuatan yang menentang perubahan. Menghadapi tantangan ini memerlukan peningkatan investasi untuk peningkatan kapasitas, meningkatkan transparansi data dan meningkatkan koordinasi di antara para pemangku kepentingan dan kebijakan.

Sebuah studi di Vietnam menemukan aspek pendekatan partisipatif yang diperkenalkan oleh 
organisasi internasional bekerja sama dengan pemerintah dan nonpemerintah domestik dapat mengurangi risiko korupsi tertentu. Jenis kegiatan antikorupsi, termasuk kerangka pengaman sosial (social safeguards), mekanisme pengaduan dan pengelolaan dana,  mengungkap upaya untuk memperkuat intervensi agen utama dan mempromosikan partisipasi sebagai norma di dalam proses pembuatan kebijakan, serta mendukung usaha penegakan hukum. Namun lobi antara sektor swasta dan para politikus pada tingkat provinsi, serta terbatasnya keterlibatan warga dalam proses pemangku kepentingan menunjukkan persaingan norma sosial pro-korupsi dan kedangkalan proses konsultasi REDD+. Sementara kegiatan antikorupsi dapat memiliki efek positif dan harus terus dikejar, pelaksana proyek harus waspada dalam menjaga terhadap korupsi untuk memastikan hukum ditegakkan dengan benar[1].

Di DRC, deforestasi didorong antara lain oleh ketidakkonsistenan undang-undang Kehutanan dan lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan pengelolaan hutan tidak effektif. Wawancara dengan pejabat dari Kementrian Lingkungan Hidup mengungkapkan bahwa upah rendah dan sumber daya yang tidak memadai untuk pemantauan berkontribusi terhadap lemahnya penegakan hukum. Penjelasan ini terpaut dengan  keengganan dari pemerintah pusat maupun pejabat daerah untuk menegakkan hukum dan memantau  aktivitas penebangan. Ini jelas ditunjukkan dari alokasi izin penebangan skala kecil dan mekanisme penegakkan hukum pada tingkat daerah. Proses-proses ini didorong oleh kepentingan pribadi dan perilaku mencari rente dari otoritas administratif sementara kekhawatiran ekologi tentang hutan dirusak[2].

Secara umum, ketika REDD+ diimplementasikan pada tingkat kelompok, dibutuhkan mekanisme untuk memastikan agar individu penduduk desa mematuhi pembatasan yang disyaratkan. Penegakan eksplisit, yang bisa diukur, bergantung terutama pada patroli dan hukuman untuk yang tertangkap melakukan aktivitas illegal di dalam hutan REDD+. Namun, dalam beberapa proyek percontohan REDD+ yang berhasil di Tanzania, penduduk desa tidak mengalokasikan dana apapun untuk perlindungan demikian. Satu penjelasan kurangnya dana penegakan adalah bahwa di desa-desa ini telah ada banyak upaya membangun kelembagaan. Pengalaman tersebut mungkin mencerminkan asumsi bahwa “pagar sosial” – rasa tanggung jawab kolektif untuk melindungi sumber dayamilik bersama – memadai untuk melindungi hutan REDD+. Pagar sosial mungkin memastikan kepatuhan dengan mempengaruhi “orang dalam” untuk mengikuti regulasi desa. Akan tetapi, orang luar yang bukan bagian dari desa dan tidak memperoleh bagian pembayaran REDD+ tidak  terpengaruh oleh tekanan seperti itu. Mereka tidak memiliki saham di hutan REDD+, dan dengan demikian tidak terpengaruh oleh pembayaran REDD+ atau perasaan tentang masa depan bersama[3]. Bahkan tanpa mekanisme formal untuk penegakkan hukum rasa tanggung jawab kolektif yang kuat atas barang publik mungkin cukup untuk menimbulkan kepatuhan.

Di Provinsi Dak Lak, Vietnam deforestasi ilegal berlangsung terus, sebagiannya akibat penegakan hukum yang lemah di kawasan hutan yang dikelola oleh negara dan perusahaan milik negara. Penyedia layanan dibayar untuk mengadakan patroli dan mengambil tindakan lain untuk melindungi hutan, namun patroli yang dipimpin masyarakat itu mengalami kendala. Pembayaran yang diterima dianggap terlalu rendah untuk waktu dan usaha melintasi medan yang berat. Tim patroli komunitas tidak dapat menerapkan denda, dan kekurangan sarana untuk melindungi diri mereka sendiri, khususnya karena para penduduk desa kekurangan seragam, alat pelindung diri dan fasilitas lain yang layak. Sebaliknya, para pelanggar semakin agresif dan lebih siap. Sifat hutan yang terfragmentasi dan terpencil juga membuat perlindungannya lebih sulit. Hutan alam di Dak Lak terus ditebang dan dirambah secara ilegal, sementara pemilik hutan tidak mampu mencegah situasi ini, dan sering mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain. Tantangan dalam mengatasi pelanggaran adalah buruknya fasilitas dan sumber daya bagi mereka yang bertanggung jawab atas penegakkan hukum kehutanan, dan pemantauan serta kerangka sistem evaluasi yang tidak jelas[4].

Di Brasil, penegakan hukum lemah baik di tingkat federal dan negara bagian, serta lembaga lingkungan di seluruh tingkat kekurangan tenaga. Data menunjukkan bahwa pemerintah di beberapa negara bagian di Amazon Brasil memainkan peran kunci dalam menciptakan kawasan lindung atau protected areas (PAs) sejak 2003, yang membantu menurunkan laju deforestasi. Meskipun Brasil membuat kemajuan yang luar biasa dalam menciptakan PAs dalam delapan tahun berikutnya, dengan partisipasi yang besar oleh pemerintah negara bagian, perlindungan hutan di masa depan tidak bisa dianggap sepele. Pelanggaran batas di PAs dan kawasan pribumi sering terjadi, laju deforestasi masih tinggi dan rentan terhadap kekuatan pasar. Brasil dan negara bagian Amazon tidak seharusnya menunggu uang REDD+ untuk memecahkan masalah-masalah ini. Sebaliknya, mereka seharusnya segera meningkatkan investasi untuk peningkatan kapasitas kelembagaan agar siap mengelola uang REDD+ ketika (atau jika) itu tersedia. Demikian pula, pemerintah federal harus  mempertimbangan REDD+ sebagai salah satu bagian dari keseluruhan strategi untuk mengurangi emisi karbon[5].

Diluncurkan pada 2018, geoportal Kebijakan Satu Peta adalah kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan sebuah peta terintegrasi dengan menyelaraskan data di 19 kementerian dan badan pemerintah. Pemerintah menemukan bahwa 40 persen lahan disengketakan[6]. Sejak itu, kebijakan ini membantu mengatasi beberapa  masalah tenurial melalui peningkatan transparansi dan data terbuka. Inisiatif ini merupakan langkah untuk mengatasi sengketa dan tumpang tindih klaim lahan akibat dari ketidakkonsistenan demarkasi lahan dari lembaga negara berbeda, serta mengidentifikasi skala kepemilikan yang tumpah tindih[7].

Masih ada beberapa perbaikan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas. Masyarakat sipil dan masyarakat adat serta lokal (IPLCs) menyatakan kekhawatiran mengenai masuknya tanah adat tradisional, yang secara historis dikecualikan dari dokumen perencanaan geospasial pemerintah; yang merupakan data utama peta terintegrasi ini. Selain itu, geoportal Kebijakan Satu Peta ini hanya dapat diakses sepenuhnya oleh menteri dan departemen utama pemerintah. Penguatan Kebijakan Satu Peta dengan menggabungkan peta partisipatif yang mencakup tanah dan hutan adat serta menyediakan akses publik pada peta dapat membantu mengurangi ancaman perampasan dan konversi lahan[8].

Sumber
[1] Williams, D.A., and Dupuy, K.E., 2019. Will REDD+ Safeguards Mitigate Corruption? Qualitative Evidence from Southeast Asia. The Journal of Development Studies 55, 2129–2144.

[2] Samndong, R.A., Bush, G., Vatn, A., Chapman, M., 2018. Institutional analysis of causes of deforestation in REDD+ pilot sites in the Equateur province: Implication for REDD+ in the Democratic Republic of Congo. Land Use Policy 76, 664–674.

[3] Robinson, E., Albers, H., Lokina, R., Meshack, C., 2016. Allocating Group-Level Payments for Ecosystem Services: Experiences from a REDD+ Pilot in Tanzania. Resources 5, 43. [4] Pham, Thu Thuy, Le, T.T.T., Tuyet, H.N.K., Pham, V.T., Tran, P.H.N.K., Tran, T.D., Tran, N.M.H., Nguyen, T.T.A., Nguyen, T.V.A., 2021a. Impacts of Payment for Forest Ecosystem Services in Protecting Forests in Dak Lak Province, Vietnam. Forests 12, 1383.

[5] Toni, F., 2011. Decentralization and REDD+ in Brazil. Forests 2, 66–85.

[6] Aquil, A.M.I. 2020. Concerns of transparency, inclusivity raised as One Map nears completion. The Jakarta Post

[7] Umali, T., 2020. Completion of One Map Policy targeted for end of 2020. OpenGov Asia.

[8] Haupt, F., Manirajah, M., Conway, D., Duchelle, A., Matson, E., Peteru, S., Pham, T.T., 2021. Taking stock of national climate action for forests: 2021 NYDF Assessment report.