Masalah tata kelola berjenjang

Banyak yang berpendapat, pendekatan berjenjang dengan beragam pihak akan mendorong “diferensiasi dan spesialisasi” dalam desain dan implementasi kebijakan serta menciptakan kebijakan adaptif yang dapat memenuhi kebutuhan teritorial yang beragam.

Baik untuk REDD+ maupun banyak mekanisme pembagian keuntungan, interaksi kompleks antar pelaku diperlukan untuk mencapai tujuan program secara terintegrasi. Interaksi yang ada, terjadi baik seara vertikal (internasional ke lokal) maupun horisontal (misalnya lintas komunitas, rumah tangga, dll.).

Dalam mewujudkan koordinasi lintas sektor dan bertingkat dibutuhkan pemahaman mendalam tentang dinamika mendasar antar para pelaku untuk menemukan solusi yang tidak biasa dan mencapai tujuan efektivitas dan keadilan.

Mendukung arus informasi lintas tingkat dan sektor.

Jika kepentingan di antara para pihak sudah selaras, fokus akan terletak pada koordinasi untuk memastikan ketersediaan dan arus informasi lintas tingkat dan sektor, yang dapat dibina oleh perantara informasi independen dan perantara yang netral dan akuntabel. Pemerintah, LSM, dan donatur harus memperbaiki organisasi dan distribusi tanggung jawab, sebagaimana pemerintah yang menetapkan mandat yang jelas untuk koordinasi lintas sektor. Pendonor REDD+ juga dapat bertindak untuk meningkatkan kolaborasi; Bank Dunia dan UN-REDD memiliki peraturan yang berbeda tentang persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan (Padiatapa) untuk REDD+, tetapi dana juga tumpang tindih untuk kegiatan yang sama. Penyelarasan akan meningkatkan efisiensi.

Negosiasi politik dan keadilan prosedural untuk menyelaraskan kepentingan dan mengatasi ketidakseimbangan kekuasaan

Menyelaraskan kepentingan antar pihak membutuhkan negosiasi politik yang menerapkan keadilan prosedural untuk mengatasi tidak seimbangnya kekuasaan. Untuk itu dibutuhkan pemberdayaan perwakilan masyarakat atau perempuan melalui keterampilan dan kapasitas, atau inklusi partisipasi pelaku lokal. Yang penting juga adalah memperjelas hak, melalui peta georeferensi fisik, dan penetapan safeguard serta mekanisme ganti rugi yang kuat untuk memfasilitasi negosiasi[1].

Di tingkat subnasional di Peru, tidak ada partisipasi secara langsung dari pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil, seperti asosiasi petani dan organisasi produsen lainnya, dalam diskusi meja bundar REDD+ tingkat regional. Organisasi masyarakat adat hanya bisa berpartisipasi secara minimal. Hal ini memiliki dampak negatif pada legitimasi REDD+.

Kebijakan Pembangunan Desa atau The European Rural Development (RDP) Eropa adalah sebuah program Uni Eropa yang bertujuan untuk mengatasi tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi di 27 negara anggota Uni Eropa (EU).

Desentralisasi ditentukan tidak hanya melalui kelembagaan, melainkan berdasarkan pemberdayaan pihak dan lembaga lokal. Oleh karena itu, untuk memperbaiki tata kelola, pendekatan kebijakan pembangunan pedesaan perlu mempertimbangkan peran dan dinamika antar pelaku, lembaga, jaringan, modal sosial dan kemampuan administratif.

LEADER adalah program yang didanai EU untuk mendukung kegiatan — seperti konsultasi, pelatihan, pendampingan, dukungan untuk mengembangkan rencana bisnis dan alokasi modal — untuk meningkatkan kualitas hidup di desa. ketika dilaksanakan di Prancis, meskipun kehadiran pelaku pemerintah maupun non pemerintah, elit politik, seperti walikota dan anggota dewan, tetaplah pengambil keputusan utama, yang tidak mengizinkan perwakilan lebih luas. Desentralisasi digunakan sebagai alat kekuasaan, dan dimanfaatkan untuk menguasai keputusan lokal. LEADER juga semakin banyak digunakan sebagai alat untuk aksi lokal bersama – sebagai contoh di Finlandia, program ini berhasil meningkatkan pengetahuan dan minat untuk pembangunan pedesaan lintas sektoral, inklusivitas, kerja sama dan kapasitas[2]

Vietnam sudah mengadopsi kerangka legal REDD+ untuk menyediakan ruang politik inklusif bagi para pelaku untuk terlibat dalam pengambilan keputusan REDD+. Namun, meskipun ada komitmen politik negara untuk pengambilan keputusan inklusif, momentum minat partisipasi para pemangku kepentingan memudar. Pada awalnya, ada motivasi yang tinggi untuk terlibat didorong oleh keinginan agar terlihat oleh donatur, belajar dan memperoleh pengetahuan, serta mencari peluang pendanaan.

Namun partisipasi dalam pertemuan menurun akibat keterbatasan kapasitas (pengetahuan, keterampilan, waktu dan uang) para pemangku kepentingan[3]. Untuk memastikan pengambilan keputusan REDD+ yang inklusif di Vietnam dibutuhkan pemahaman konteks politik, mengatasi dinamika kekuasaan yang mendasari rezim pemerintahan, membangun koalisi untuk perubahan di antara para elit politik dan masyarakat sipil, serta membina keinginan politik berkelanjutan dan komitmen.

Di Republik Demokrasi Kongo, terlepas dari kepentingan awal pelaku di REDD+, antusiasme menurun seiring berjalannya waktu karena kekhawatiran pemangku kepentingan jarang diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan. Keberadaan masyarakat sipil dan masyarakat asli masih lemah, sementara organisasi internasional mendominasi. Lebih jauh lagi, lembaga pemerintahan dapat dengan mudah memanipulasi partisipasi REDD+ di DRC untuk tujuan mereka sendiri (misalnya memperlambat pelibatan organisasi masyarakat sipil dalam memenuhi persyaratan partisipasi yang ditetapkan oleh donor), sehingga gagal mengatasi masalah mendasar kekuasaan dan politik. Jika kekhawatiran para pemangku kepentingan tidak dimasukkan ke dalam kebijakan aktual dan hasil proyek, para pelaku akan kehilangan minat dan memilih untuk tidak berpartisipasi. Oleh karena itu, walaupun pemerintah berusaha meningkatkan inklusivitas pengambilan keputusan, sekedar memperbaharui pengaturan kelembagaan tidak akan menjamin inklusi lebih besar dalam pembuatan kebijakan karena yang dibutuhkan adalah perubahan bentuk kekuasaan dan ruang politik[4].

Di Kabupaten Siak di Indonesia, wilayah luas gambut dalam yang dikembalikan oleh perusahaan ke pemerintah hampir didistribusikan ke petani kecil di bawah program reforma agraria, meskipun ada moratorium pembukaan baru lahan gambut. Resolusi pertentangan kebijakan ini dibantu oleh organisasi masyarakat sipil, yang memfasilitasi hubungan antara yurisdiksi dan badan pemerintahan nasional. Melalui koordinasi oleh jaringan masyarakat sipil lokal dan nasional dalam mendukung pemerintah kabupaten, 4.000 hektar area sekarang ada di bawah manajemen komunal[5]. Keterlibatan jaringan masyarakat sipil dalam proyek tidak boleh diabaikan, karena mereka dapat membantu mengkoordinasikan dan membantu masalah yang mungkin muncul di berbagai tingkat pemerintahan.

Di desa Nomedjoh di Kamerun, berbagi informasi dan transparansi bukan masalah dalam proyek REDD+ sebagian besar karena upaya tokoh lokal, yang membantu pengungkapan informasi tentang kegiatan proyek selama proses Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA). Masyarakat yang diwawancarai memuji pendeta karena telah membantu menjembatani kesenjangan informasi dan meningkatkan hak penduduk setempat dan menjelaskan tujuan dari proyek. Studi kasus ini menyorot pentingnya peran yang bisa dimainkan oleh tokoh lokal dalam membantu menyebarkan infromasi tentang proyek REDD+ pada komunitas yang lebih luas[6].

Sebagai wahana bagi para pemimpin 38 negara bagian dan provinsi di seluruh dunia, Satuan Tugas Gubernur untuk Iklim dan Hutan atau the Governor’s Climate and Forests Task Force (GCFTF) yang melibatkan gubernur dan staff senior pada pertemuan tahunan, telah menjadi sumber pengetahuan dan inspirasi bagi beberapa inisiatif yurisdiksi di Indonesia. GCFTF dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) – sebuah asosiasi kabupaten di Indonesia yang mendukung pendekatan yurisdiksi – memainkan fungsi fasilitasi horizontal serupa: keduanya menawarkan wahana untuk membandingkan kemajuan anggota, sekaligus memberi bantuan teknis untuk anggota dalam bidang seperti perencanaan dan pemantauan lintas yurisdiksi. Sebagai contoh, LTKL menyediakan sebuah wahana yang menghubungkan kabupaten-kabupaten yang berkomitmen pada pembangunan hijau. Pertemuan yang difasilitasi oleh LTKL, membantu kepala daerah dan staf mereka untuk mengidentifikasi kepentingan dan tantangan bersama, serta menyediakan wahana untuk belajar dari pengalaman satu sama lain. Selain itu, sekretariat LTKL membantu kabupaten anggota dengan memobilisasi bantuan teknis dan menawarkan program-program seperti seri Masterclass dalam membangun kapasitas kabupaten untuk mengembangkan portofolio investasi, sementara Festival Kabupaten Lestari atau Festival Kabupaten Berkelanjutan memberi kesempatan pertukaran pelajaran kabupaten anggota[7].

Sebuah studi mengungkapkan bahwa lahirnya kemitraan manajemen bersama antara Program Konservasi Hutan Nasional atau the Peruvian government’s National Forest Conservation Programme (PNCB) Peru – skema pembayaran bersyarat yang bertujuan mendorong manajeman hutan berkelanjutan – dan kelompok perwakilan masyarakat adat Federasi Adat Madre de Dios atau Native Federation of Madre de Dios (FENAMAD) bisa berdampak positif. Manajemen bersama pada skala daerah mendukung inklusi pertimbangan politik lokal dalam program mitigasi perubahan iklim yang dipimpin pemerintah yang didesain pada skala nasionenual. Selain itu, kemitraan ini mengatasi kesenjangan kelembagaan vertikal dengan memperkuat kehadiran PNCB di daerah dan memperkuat kehadiran skema pembayaran bersyarat, karena FENAMAD adalah lembaga daerah permanen. Akhirnya, kemitraan ini membantu memperkuat pemantauan dan implementasi skema pembayaran konservasi[8].

Sumber
[1]Larson AM, Sarmiento Barletti JP, Ravikumar A and Korhonen-Kurki K. 2018. Multi-level governance: Some coordination problems cannot be solved through coordination. In Angelsen A, Martius C, De Sy V, Duchelle AE, Larson AM and Pham TT, eds. Transforming REDD+: Lessons and new directions. Bogor, Indonesia: CIFOR. 81–91.

[2]Larson AM, Sarmiento Barletti JP, Ravikumar A and Korhonen-Kurki K. 2018. Multi-level governance: Some coordination problems cannot be solved through coordination. In Angelsen A, Martius C, De Sy V, Duchelle AE, Larson AM and Pham TT, eds. Transforming REDD+: Lessons and new directions. Bogor, Indonesia: CIFOR. 81–91.

[3]Pham, Thu Thuy, Ngo, H.C., Dao, T.L.C., Hoang, T.L., Moeliono, M., 2021b. Participation and influence of REDD+ actors in Vietnam, 2011–2019. Global Environmental Change 68, 102249.

[4]Pham, Thu Thuy, Le, T.T.T., Tuyet, H.N.K., Pham, V.T., Tran, P.H.N.K., Tran, T.D., Tran, N.M.H., Nguyen, T.T.A., Nguyen, T.V.A., 2021a. Impacts of Payment for Forest Ecosystem Services in Protecting Forests in Dak Lak Province, Vietnam. Forests 12, 1383.

[5]Seymour FJ, Aurora L and Arif J. 2020. The Jurisdictional Approach in Indonesia: Incentives, Actions, and Facilitating Connections. Frontiers in Forests and Global Change 3:124.

[6]Tegegne YT, Palmer C, Wunder S, Moustapha NM, Fobissie K and Moro E. 2021. REDD+ and equity outcomes: Two cases from Cameroon. Environmental Science & Policy 124:324-35.

[7]Seymour, F.J., Aurora, L., Arif, J., 2020. The Jurisdictional Approach in Indonesia: Incentives, Actions, and Facilitating Connections. Front. For. Glob. Change 3, 503326.

[8]Dupuits, E., Cronkleton, P., 2020. Indigenous tenure security and local participation in climate mitigation programs: Exploring the institutional gaps of REDD + implementation in the Peruvian Amazon. Env Pol Gov 30, 209–220.