Hubungan dengan kebijakan sektor lain

Deforestasi dan degradasi hutan tidak bisa dibingkai hanya sebagai masalah kehutanan mengingat bahwa sektor lain, seperti eksploitasi kayu komersial, pengembangan industri pertanian, perladangan berpindah dan perluasan infrastruktur, semua berperan juga. Undangundang dan peraturan yang bersaing atau bertentangan di sektor lain dapat menghambat keberhasilan program REDD+. Dan karena pemanfaatan hutan dan lahan yang lebih baik juga melibatkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi, seperti kemiskinan pedesaan, kepemilikan lahan, masalah jasa lingkungan dan keuangan dan pasar, REDD+ membutuhkan tanggapan lintas sektor untuk mencapai perubahan transformasional[1].

Koordinasi antar pelaku kebijakan yang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan adalah hal yang krusial. Agar kelembagaan REDD+ dapat menanggapi cakupan masalah yang lebih luas, diperlukan adanya keterwakilan dan interaksi pelaku lintas batas sektor dan pengetahuan serta nilai yang beragam Program REDD+ harus dikaitkan dengan sektor lain (kehutanan, lingkungan, dan keuangan) dan kebijakan penggunaan lahan untuk memastikan keberhasilannya.

Keterwakilan pemerintah dari berbagai sektor kebijakan saja tidak menjamin peningkatan koordinasi kebijakan lebih baik. Kepentingan politik, hubungan kekuasaan dan kebiasaan lama dapat merusak efektivitas kelembagaan. Dibutuhkan dukungan bagi mereka yang terkena dampak REDD+ untuk memastikan suara mereka dapat terdengar dalam proses pengambilan keputusan[2].

Di Brasil, paradigma pembangunan sejak pertengahan 1970-an semakin terpusat pada promosi perusahaan swasta melalui kredit dan insentif fiskal yang besar, dengan perhatian khusus bagi sektor peternakan, kayu dan pertambangan. Akibatnya tekanan pada hutan meningkat. Meskipun telah ada langkah-langkah untuk mengurangi deforestasi, konversi hutan terus difasilitasi oleh kebijakan yang bertentangan, khususnya dalam sektor infrastruktur, agribisnis, dan pertambangan. Lebih banyak upaya yang harus dilakukan di berbagai industri yang terkait dengan deforestasi untuk memastikan ada koordinasi kebijakan lintas sektor yang lebih besar pada undang-undang kehutanan[3].

Industri ekstraktif dan infrastruktur terkait adalah merupakan penyebab utama berkurangnya hutan, berada di peringkat keempat pendorong deforestasi setelah pembalakan industrial, ekspansi pertanian, dan kebakaran hutan. Sebagian besar industri ekstraktif tidak menyebut REDD+ secara eksplisit dalam laporan atau inisiatif keberlanjutan mereka, namun mereka sering memiliki kebijakan lingkungan dan sosial yang relevan yang menawarkan hubungan praktis dengan tujuan REDD+.

Sebuah studi menemukan bahwa ada kesempatan bagi industry ekstraktif untuk berkontribusi dalam tujuan REDD+, menggunakan wawasan yang didapat dari pengembangan standar REDD+ untuk ekstraktif di Republik Demokratik Kongo (DRC). Kerangka strategi REDD+ nasional DRC yang diadopsi pada tahun 2014 menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi dampak negatif dan mengoptimalkan manfaat investasi sektor swasta pada umum nya dan sektor minyak dan pertambangan, yaitu:

  • Pengembangan dan implementasi tata kelola lahan yang ambisius untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan sumber daya alam;
  • Revisi kerangka hukum untuk sektor ekstraktif;
  • Penguatan penegakan hukum perihal jaring pengaman (safeguard) sosial dan lingkungan;
  • Mendukung penelitian tentang dampak dari industri ekstraktif terhadap hutan (baik skala besar maupun skala kecil) bersama dengan langkah-langkah mitigasi dan kompensasi;
  • Mendukung rencana mitigasi dan rehabilitasi lokasi dengan partisipasi masyarakat sipil dan komunitas daerah untuk membatasi kerusakan hutan.

Rancangan Standar REDD+ DRC untuk industri ekstraktif ditujukan untuk memandu seluruh kegiatan ekstraktif di kawasan hutan dengan tujuan mencegah, mengurangi, atau mengkompensasi dampaknya terhadap  tutupan hutan. Standar ini didasarkan pada prinsipprinsip dasar REDD+, termasuk keabadian pengurangan yang dicapai, tambahan dari pengurangan ini dibandingkan dengan referensi, langkah-langkah pengamanan pilihan mata pencaharian bagi penduduk lokal dan pencegahan efek kebocoran dari pemindahan kegiatan ke kawasan hutan lainnya. Rancangan Standar secara tegas menyatakan tujuan deforestasi nol dan berisi persyaratan eksplisit untuk menggabungkan deforestasi langsung dan tidak langsung dan degradasi hutan dalam sistem pengelolaan lingkungan.

Intervensi REDD+ yang berhasil untuk sektor ekstraktif perlu mengatasi risiko yang ada agar mencapai hasil REDD+ yang efektif, efisien, dan berkeadilan, seperti batasan dan kesulitan dalam perencanaan antarsektor, dan kepentingan eksploitasi minyak dan mineral. Secara keseluruhan, Draf Standar REDD+ untuk industri ekstraktif adalah contoh bagaimana mengembangkan kebijakan REDD+ dapat memengaruhi sektor ekstraktif dan memperluas perspektif bagaimana sektor tersebut dapat berkontribusi dalam mencapai tujuan REDD+[4].

Kebijakan sektor kehutanan

Bauran kebijakan telah menjadi bidang minat yang berkembang di kalangan komunitas internasional.

Instrumen kebijakan cenderung dianalisis secara terisolasi, namun pada kenyataannya, yang diterapkan adalah bauran kebijakan atau intervensi. Efek gabungan berbeda dari efek masing-masing.

Implementasi REDD+ seharusnya melibatkan campuran berbagai instrumen kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan.

Beberapa bauran kebijakan tersebut antara lain:

  • Instrumen kebijakan berbasis insentif untuk mendorong konservasi hutan, seperti PES atau subsidi (sering disebut “wortel”);
  • Kebijakan disinsentif untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan, seperti penegakan hukum dengan hukuman atas pelangaran sangsi yang lebih berat (sering disebut “tongkat”);
  • Kebijakan untuk mengubah kondisi kelembagaan yang mendukung (misalnya, restrukturisasi tanggung jawab kementrian atau desentralisasi otoritas), yang mempersiapkan landasan bagi insentif dan disinsentif untuk bekerja lebih baik. 

Sementara bauran kebijakan insentif-disinsentif diperlukan, tujuan kebijakan ganda tidak dapat dicapai begitu saja oleh satu instrumen kebijakan. Apalagi karena deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh banyak faktor penguat.

Evaluasi bauran kebijakan ini perlu mempertimbangkan elemen efisiensi ekonomi, efektivitas lingkungan, dan kesejahteraan sosial yang terkait dengan pendapatan.

Untung ruginya bergantung pada pola dan tekanan deforestasi, peluang konservasi dan biaya penegakan dan kepatuhan. Efektivitas penegakan hukum adalah kunci efisiensi kebijakan apa pun.

Dalam hal memerangi deforestasi, keberhasilan Brasil tak tertandingi dan sebagian besar disebabkan oleh bauran kebijakan.

Pada 2012, deforestasi di Brasil sebesar 13.750 kilometer persegi lebih rendah dari rata-rata historis dan kurang lebih 700 kilometer persegi di bawah target kebijakan nasional yang ambisius untuk periode 2011–2015.

Kesuksesan ini sebagian besar dikaitkan dengan langkah-langkah perintah dan kontrol (command
and control) seperti:

  • Daftar hitam wilayah atau kabupaten dengan kehilangan hutan tahunan yang tinggi
  • Pemantauan deforestasi waktu nyata agar penjahat dapat ditangkap dengan cepat
  • Penegakan hukum yang efektif

Bagaimana pun juga, untuk menyeimbangkan biaya, manfaat, dan keadilan sosial, pemerintah mulai menyadari pentingnya memasukkan insentif ke dalam bauran kebijakan penegakan hukum. Hal ini mencakup kompensasi kepada petani untuk melestarikan vegetasi alami dalam lahan mereka serta pembayaran berbasis kinerja untuk pelestarian jasa lingkungan atau payments for environmental service conservation (PES).

Pada praktiknya merancang bauran kebijakan yang efektif dapat menjadi tantangan dan disertai adanya timbal balik. Sebuah studi pada 2015 menemukan adanya kendala untuk menyelaraskan insentif dengan disintensif agar konservasi dapat diterima secara sosial dan hemat biaya.

Atas dasar pertimbangan moneter murni pengeluaran pemerintah, bauran yang paling hemat biaya didominasi oleh langkah-langkah perintah dan kontrol, dengan lebih dari 30 hektar hutan yang dikonservasi per BRL 1.000 (1.000 real Brasil, sekitar USD 345) yang diinvestasikan dalam kebijakan.

Jenis kebijakan ini dapat mencapai keberhasilan dengan biaya penegakan hanya BRL 0,03 (kurang dari satu sen AS) per hektar dari hutan yang dikonservasi. Namun, biaya peluang yang ditanggung oleh pengguna lahan dalam skenario ini akan besar. Untuk pengurangan deforestasi yang terjadi antara 2004 dan 2012, biayanya bisa melebihi BRL 2 miliar (sekitar USD 700 juta) per tahun.

Studi yang sama menemukan bahwa wortel tanpa tongkat, dapat mengurangi efektivitas biaya hingga lebih dari 98%, meskipun wortel membantu memastikan pembagian biaya dan manfaat yang lebih setara sehingga membuat konservasi secara politis lebih diterima.

“Alasannya adalah bahwa Anda memberi kompensasi kepada pengguna lahan untuk setidaknya beberapa kerugian yang terjadi ketika mereka meningkatkan kepatuhan mereka terhadap hukum. Tapi tentu saja, hal ini menimbulkan biaya yang signifikan bagi negara, yang harus menyediakan anggaran yang lebih besar,” kata Jan Börner, penulis utama studi.

Diadaptasi dari: Mind the ‘stick’: How ‘carrots’ can make conservation fairer in Brazil’s Amazon[5].

Pada tahun 1976, Yayasan Nasional Indian atau National Indian Foundation (FUNAI) Brasil mulai bekerja di negara bagian Acre membangun kontak pertama antara negara dan penduduk pribumi untuk menetapkan tanah mereka. Demarkasi “wilayah pribumi” sebagai kategori tanah legal sangat penting karena memberikan hak atas tanah kepada penduduk pribumi. Selain itu, Konstitusi Brasil tahun 1988 memperkuat hak penduduk pribumi, menghapus mandat bahwa penduduk pribumi harus berasimilasi dengan masyarakat Brasil. Demarkasi, dalam hubungannya dengan undang-undang konstitusional yang mengakui dan memperkuat hak-hak penduduk pribumi, berkontribusi pada kepemilikan tanah. Sejak tahun 1976, 717 wilayah pribumi telah ditetapkan secara nasional[6].

Di Amazon Brasil, dimana inisiatif pemerintah dan tekanan internasional membantu mengurangi emisi dari deforestasi, emisi dari kebakaran hutan dan efek tepi meningkat di antara 2005 dan 2015. Kebijakan efektif untuk mengurangi deforestasi tidak secara langsung mengatasi degradasi hutan; mengatasi degradasi yang disebabkan oleh manusia harus melampaui identifikasi dan mengukur berbagai jenis gangguan untuk menciptakan strategi baru. Beberapa dari kebijakan baru yang bisa disusun– dan akhirnya dimasukkan ke dalam kebijakan nasional dan perjanjian internasional – adalah kebijakan yang ditujukan untuk menghindari dan mengimbangi emisi terkait, termasuk penggunaan berkelanjutan sumber daya hutan, memulihkan hutan tua dan melindungi hutan sekunder[7].

Akan tetapi kebijakan baru demikian dapat dengan mudah digagalkan dan dibuat ulang oleh kepentingan politik. Bolsonaro menerbitkan kebijakan yang mengijinkan pengembangan produk pertanian dan kehutanan secara komersial di wilayah pribumi. Hal ini mengakibatkan pelanggaran hak serupa yang terjadi pada jaman kolonial[8].

Di Ghana, reformasi sistem Perjanjian Tanggung Jawab Sosial yang memberikan hak kepada masyarakat lokal atas pembayaran dari perusahaan penebangan telah meningkatkan transparansi dan meningkatkan  pembayaran kepada masyarakat, dan dengan demikian meningkatkan pengumpulan dan penggunaan pendapatan hutan[9]. Hasil positif lain termasuk peningkatan pendapatan sektor kehutanan, proses yang lebih adil untuk menegosiasikan Perjanjian Tanggung Jawab Sosial, pemantauan yang lebih baik atas implementasi oleh pemerintah, dan dampak positif secara keseluruhan dalam pengelolaan sektor kehutanan di negara.

Sumber
[1] Brockhaus, M., Di Gregorio, M., Mardiah, S., 2014. Governing the design of national REDD+: An analysis of the power of agency. Forest Policy and Economics 49, 23–33.

[2] Fujisaki, T., Hyakumura, K., Scheyvens, H., Cadman, T., 2016. Does REDD+ Ensure Sectoral Coordination and Stakeholder Participation? A Comparative Analysis of REDD+ National Governance Structures in Countries of Asia-Pacific Region. Forests 7, 195.

[3] May, P.H., Gebara, M.F., de Barcellos, L.M., Millikan, B., 2016. The context of REDD+ in Brazil: drivers, agents, and institutions – 3rd edition. Center for International Forestry Research (CIFOR).

[4] Hund, K., Schure, J., van der Goes, A., 2017. Extractive industries in forest landscapes: options for synergy with REDD+ and development of standards in the Democratic Republic of Congo. Resources Policy 54, 97–108.

[5] Börner J, Marinho E and Wunder S .2015. Mixing Carrots and Sticks to Conserve Forests in the Brazilian Amazon: A Spatial Probabilistic Modeling Approach. PLOS ONE 10(2): e0116846.

[6] DiGiano, M., Mendoza, E., Ochoa, M., Ardila, J., Oliveira de Lima, F., Nepstad, D., 2018. The Twenty-Year-Old Partnership Between Indigenous Peoples and the Government of Acre, Brazil.

[7] Silva Junior, C.H.L., Carvalho, N.S., Pessôa, A.C.M., Reis, J.B.C., Pontes-Lopes, A., Doblas, J., Heinrich, V., Campanharo, W., Alencar, A., Silva, C., Lapola, D.M., Armenteras, D., Matricardi, E.A.T., Berenguer, E., Cassol, H., Numata, I., House, J., Ferreira, J., Barlow, J., Gatti, L., Brando, P., Fearnside, P.M., Saatchi, S., Silva, S., Sitch, S., Aguiar, A.P., Silva, C.A., Vancutsem, C., Achard, F., Beuchle, R., Shimabukuro, Y.E., Anderson, L.O., Aragão, L.E.O.C., 2021. Amazonian forest degradation must be incorporated into the COP26 agenda. Nat. Geosci. 14, 634–635.

[8] Urzedo, D., Chatterjee, P., 2021. The Colonial Reproduction of Deforestation in the Brazilian Amazon: Violence Against Indigenous Peoples for Land Development. Journal of Genocide Research 23(2): 302-324, DOI:10.1080/14623528.2021.1905758.

[9] Hoare, A., Young, D., Uehara, T., Seidu, M.K., Birikorang, G., Wete Soh, L., Kamga, J.K., Royal Institute of International Affairs, 2020. Forest sector accountability in Cameroon and Ghana: Exploring the Impact of Transparency and Participation