Derajat desentralisasi (fiskal dan lainnya): Desentralisasi fiskal

Hak pemerintah atas pendapatan dan transfer anggaran dari pemerintah pusat

Transfer fiskal antar pemerintah adalah praktik umum untuk mendistribusikan pendapatan publik dari tingkat nasional ke daerah.

Mendistribusikan bagian dari pendapatan pemerintah nasional ke pemeritah subnasional (bagi hasil vertikal) dapat membantu memperbaiki variasi penyediaan layanan publik wilayah geografis yang berbeda di suatu negara, (misalnya, dampak dari bendungan hulu ke masyarakat hilir) (bagi hasil horizontal).

Di Kamerun, hutan dinilai berdasarkan luas dan iuran hasil hutan dibayarkepada pemerintah pusat. Iuran tahunan hutan yang ditetapkan pada 1998 adalah 1.500 CFA Franc/ha (2,40 USD/ha) untuk konsesi hutan dan 2.500 CFA Franc/ha (4,05 USD) untuk eksploitasi, meskipun ada upaya desentralisasi tingkat penjualan dari volume masih lebih rendah.

Bagi hasil dari hutan untuk pembangunan lokal adalah salah satu bidang prioritas kebijakan Kamerun. Pada 2012, pemerintah Kamerun mendesentralisasi iuran hasil hutan dan margasatwa pada dewan kota dan komunitas lokal.

Akan tetapi, Undang Undang Keuangan tahun 2015 menyatakan 50% dari iuran hasil hutan tahunan menjadi bagian negara dan 50% untuk dewan. Hal ini membatalkan alokasi 10% untuk komunitas lokal, dan mengurangi sebagian otonomi keuangan dan politik masyarakat lokal. Hal ini dapat diilihat sebagai resentralisasi tentatif dalam arah menuju ketergantungan tinggi pada pemerintah nasional[1].

Kebijakan Pembangunan Pedesaan atau the European Rural Development (RDP) Eropa adalah sebuah program EU yang bertujuan untuk mengatasi tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi di 27 negara anggota Uni Eropa (EU).

Desentralisasi diidentifikasi sebagai cara efektif mencapai tujuan lingkngan, karena pengambilan keputusan bergeser ke tingkat lokal. Ini berarti bahwa kebijakan dapat diinformasikan dengan lebih kontekstual. Banyak negara Uni Eropa meregionalisasi pendekatan kebijakan pembangunan pedesaan nasional mereka. RDP Skotlandia dikembangkan dan diimplementasikan secara nasional, namun pada 2007-2013, kelompok pengambilan keputusan regional dipilih untuk mengembangkan prioritas pedesaan dan menyusun kebijakan. Namun, pada praktiknya, kekuasaan gagal ditransfer dari pemerintah pusat ke kelompok regional, karena kurangnya kapasitas[2].

Di Vietnam, Undang Undang Anggaran Negara tahun 2004 memandatkan desentralisasi fiskal secara formal, memberikan pemerintah lokal, termasuk di tingkat provinsi, kekuasaan lebih besar untuk membuat keputusan tentang alokasi sumber daya di provinsi mereka[3]. Mengingat kecenderungan menuju desentralisasi, mungkin saja di masa depan bisa diterapkan mekanisme pembagian Pembayaran untuk Jasa Lingkungan Hutan (PFES) untuk distribusi pembayaran REDD+. Dalam mekanisme ini, dana FPES pusat—yang mencakup dana REDD+—dikelola oleh Kementerian Pertanian dan Pembangunan Desa akan mendistribusikan dana penggunaan lahan seperti REDD+ kepada pemerintah provinsi, mengizinkan setiap provinsi mendistribusikan dana kepada penyedia layanan lingkungannya sendiri[4].

Di Myanmar, proses desentralisasi mendorong beberapa devolusi tanggung jawab administratif, namun pemerintah di tingkat daerah masih sangat bergantung pada pemerintah nasional karena kapasitas tidak merata. Pemerintah negara dan daerah memiliki basis pendapatan terbatas dan mengandalkan transfer dari tingkat pusat. Myanmar terus menjadi negara terpusat karena anggaran yang kecil dan pengawasan anggaran pusat, serta pembatasan otonomi politik[5].

Di bawah konstitusi dan undang-undang DRC, unit pemerintahan terdesentralisasi memiliki sistem keuangan terpisah untuk memastikan desentralisasi otonomi keuangan satuan teritorial. Biaya yang sebelumnya ditanggung oleh pemerintah pusat dialihkan ke provinsi, antara lain tanggung jawab untuk memastikan pendapatan dari sumber daya alam dapat secara efektif berkontribusi pada pembangunan provinsi. Akibat perubahan ini, provinsi yang paling diberkahi secara finansial adalah provinsi lama, sementara provinsi yang baru terbentuk sering kekurangan infrastruktur dan sumber daya untuk menghasilkan pendapatan untuk mendukung pembangunan mereka. Proyek yurisdiksi REDD+ Maï-Ndomebe juga menyorot mengapa dukungan untuk provinsi diperlukan: provinsi perlu untuk mempertahankan kepemilikan penuh atas program penurunan emisi hutan agar REDD+ efektif karena mereka akan menerima sebagian pembayaran yang dihasilkan dari penurunan emisi yang dilakukan di provinsi.

Untuk mengatasi ketidaksetaraan yang timbul dari perkembangan provinsi dan satuan teritorial yang terdesentralisasi, Konstitusi DRC menetapkan 40% dari pendapatan nasional dipungut di awal sebagai bagian dana pemerataan nasional untuk didistribusikan kembali. Dana pemerataan nasional ini dapat membantu memperbaiki kapasitas pemerintah darah untuk menghasilkan pendapatan mandiri dari berbagai sumber, termasuk eksploitasi sumber daya alam. Akan tetapi, fungsi dana ini tidak jelas, dan sulit menentukan kontribusi nyata yang dapat diberikan untuk perkembangan provinsi baru[6].

Pembayaran berbasis kinerja untuk pemerintah daerah

Menyediakan pembayaran berbasis kinerja untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan memerlukan tambahan alokasi kawasan hutan untuk bersaing dengan penggunaan lahan lainnya.

Pembayaran ini bisa disalurkan ke pemerintah lokal yang memiliki mandat yang sesuai untuk mengelola hutan dan penggunaan lahan.

Berawal pada 1991, negara bagian Paraná Brasil mengumpulkan pajak dari penjualan barang, transportasi, dan layanan komunikasi, yang lalu digunakan untuk melindungi kawasan keanekaragaman hayati. Dinamai Imposto sobre Circulação de Mercadorias e Serviços – Ecológico atau ICMS-E, pajak pertambahan nilai “ekologi” ini mencapai lebih dari 90% dari pendapatan fiskal pemerintah negara bagian di Brasil.

Bagian dari hasil pajak dialokasikan kembali ke pemerintah kota sebagai kompensasi untuk pendapatan yang hilang dari kawasan lindung. ICMS-E dimaksudkan sebagai mekanisme kompensasi dan insentif, mendorong manajemen yang lebih baik untuk kawasan lindung yang ada, selain juga penetapan kawasan konservasi baru.

Beberapa studi telah menunjukkan hubungan langsung antara pajak ekologi dan peningkatan kawasan lindung: total kawasan lindung di negara bagian Paraná meningkat 164% sejak 1991. Namun, indikator kualitas untuk memantau keefektivitasan lingkungan masih kurang.

Pajak ekologi Brasil memanfaatkan administrasi negara bagian yang ada dan dapat menciptakan dukungan politik melalui pendekatan bawah-ke-atas dalam konservasi hutan. Namun hal ini membutuhkan transparansi dalam distribusi pendapatan[7].

Proposal untuk transfer fiskal lingkungan dari nasional-ke-daerah di seluruh Brasil telah diperkenalkan ke Parlemen Brasil sejak tahun 1999, tetapi belum ada yang berhasil disahkan menjadi undang-undang. Antara tahun 1992 dan 2017, skema pembagian pendapatan pajak di Brasil yang dirancang untuk mempromosikan pelestarian dan pengelolaan area perlindungan yang dikenal sebagai ICMS Ecologico (ICMS-E) menyerahkan lebih dari USD 8,8 miliar kepada pemerintah kota. Selain itu, sistem federal Brasil memungkinkan legislatur negara bagian yang berbeda untuk bereksperimen dengan alokasi pendapatan yang berbeda di antara pemerintah kota. Misalnya, negara bagian Minas Gerais, Paraná, Piauí, dan Rio de Janeiro memperkenalkan indikator kualitatif tentang pengelolaan area perlindungan. Tingkat variasi lainnya terjadi di tingkat pemerintah kota, yang mengalokasikan pendapatan ICMS sesuai dengan prioritas anggaran mereka, dengan negara bagian juga bervariasi dalam tingkat keterlambatan EFT mereka antara disahkan oleh legislatif dan diimplementasikan oleh badan pemerintah negara bagian. Ada bukti dari regresi panel di seluruh negara bagian Brasil bahwa EFT menyebabkan peningkatan tiga kali lipat dalam jumlah kawasan lindung di pemerintah kota (Droste et al., 2017) dan waktu rata-rata yang lebih singkat untuk penetapan kawasan lindung. Meskipun ada pertanyaan apakah beberapa kawasan lindung baru ini adalah “taman kertas” yang tidak dikelola; contoh ekstremnya adalah seluruh pemerintah kota di Minas Gerais yang dijadikan sebagai kawasan perlindungan lingkungan untuk mendapatkan manfaat dari ICMS-E. Penelitian menunjukkan bahwa EFT telah mendorong pemerintah subnasional untuk meningkatkan cakupan kawasan lindung di Brasil (Busch et al., 2021)[8].

Di China, sistem transfer fiskal antar pemerintah terdiri dari tiga tipe Transfer Fiskal Lingkungan atau ecological fiscal transfers (EFTs). Tipe terpenting adalah pembayaran transfer fiskal umum untuk Area Fungsi Ekologis Kunci Nasional atau National Key Ecological Function Areas (NKEFAs). Pola ini diresmikan secara nasional pada 2010 untuk memberikan kompensasi kepada pemerintah tingkat desa atas pengeluaran dan mendorong konservasi alam di daerah dengan keanekaragaman hayati yang rentan. Pemerintah pusat mentransfer sekitar USD 11,4 miliar melalui skema NKEFA pada 2020. EFT mendistribusikan sekitar 0,95% dari total transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal ke kabupaten-kabupaten yang memiliki NKEFA berdasarkan rumus alokasi yang terdiri dari banyak elemen terkait kualitas ekosistem (misalnya kekayaan biologis, tutupan vegetasi, kepadatan jaringan air, tekanan tanah, beban polusi, dan pembatasan lingkungan). Skema transfer juga mencakup pembayaran bonus bagi pemerintah daerah yang berkinerja baik, dan denda bagi pemerintah daerah yang berkinerja buruk, sebagian didasarkan pada indeks ekologi. Beberapa studi telah menemukan pembayaran NKEFA China memiliki efek positif pada beberapa aspek kualitas lingkungan. Sebagai contoh, studi kuasi-eksperimental menemukan bahwa pembayaran transfer mengurangi aktivitas padat polusi di daeran aliran Sungai Yangtze dan meningkatkan kualitas lingkungan di Provinsi Guangdong, sementara regresi panel di seluruh provinsi China menemukan bahwa pembayaran transfer mengurangi polusi dan pembayaran meningkatkan kualitas dan kuantitas air. Ini menunjukkan bahwa EFTs telah meningkatkan beberapa aspek kualitas lingkungan di China[8].

Komisi Keuangan India bertanggung jawab untuk memutuskan jumlah pendapatan pajak yang didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah negara bagian setiap lima tahun, dan menentukan bagaimana pendapatan ini didistribusikan antara negara bagian. Program transfer fiskal ekologis India dimulai pada 2015 ketika Komisi Keuangan ke-14 memasukkan kawasan hutan dengan kepadatan tinggi sebagai 7,5% dalam rumus distribusi. Ini dilakukan untuk memberi kompensasi negara bagian atas “ketidakmampuan fiskal” dari pendapatan pajak yang hilang karena mempertahankan atau melindungi tutupan hutan, dan untuk mengakui manfaat ekologis hutan. Pada lima tahun pertama EFT, lebih dari USD 37 miliar di transfer ke negara bagian berdasarkan tutupan hutan. Pengenalan transfer fiskal ekologis yang berlangsung bersamaan dengan peningkatan substansial dalam transfer ke negara bagian mengakibatkan jumlah uang yang didistribusikan dari pemerintah nasional ke pemerintah negara bagian meningkat dari 32% menjadi 42% dari pendapatan pajak, sehingga meningkatkan keyakinan pemerintah negara bagian bahwa peningkatan tutupan hutan dapat dihargai dengan peningkatan pendanaan[9]. Ini hanya salah satu contoh bagaimana pemerintah nasional dapat memberi kompensasi pada pemerintah subnasional atas hilangnya pendapatan karena melindungi kawasan hutan yang seharusnya mereka terima dari membangun.

Pajak ditahan

Undang-undang pajak tanah di Kamerun telah ada sejak pertengahan 1970-an. Sampai saat ini, belum ada evaluasi pelaksanaannya. Peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional atau Center for International Forestry Research (CIFOR) telah mempelajari lima anak perusahaan multinasional yang beroperasi di sektor kelapa sawit, karet, pisang dan tebu di Kamerun. Hanya perusahaan kelapa sawit dan tebu yang beroperasi di lahan “nasional” yaitu tanah yang belum dimiliki, dan dengan demikian mereka diharuskan membayar pajak tanah kepada dewan dan masyarakat.

Kebanyakan dewan menggunakan sewa tanah untuk memenuhi kebutuhan seperti membayar gaji, alih alih menginvestasikannya dalam pembangunan berkelanjutan. Namun, dewan yang berinvestasi dalam proyek komunitas pun tidak berhasil mengurangi kemiskinan pada tingkat rumah tangga.

“Pendapatan dari biaya lahan tidak digunakan secara berbeda dari royalti hutan,” kata Samuel Assembe Mvondo, penulis utama studi ini. “tidak diinvestasikan secara berarti untuk kesehatan, listrik, air atau pendidikan.”

Untuk meningkatkan pembagian sewa pada lahan nasional, studi ini merokemendasikan:

  • Melakukan inventarisasi sistematis lahan nasional yang diduduki atau dihibahkan/disewakan
  • Memastikan seluruh operator membayar sewa lahan sesuai aturan
  • Meluncurkan penawaran kompetitif untuk lahan nasional yang terbuka untuk investasi
  • Memastikan seluruh informasi terkait pekerjaan/penggunaan lahan nasional diterbitkan.

Diadaptasi dari Results of Cameroon land-fee study hold lessons for REDD[10].

Bagaimana royalti/perpajakan di ditetapkan untuk hasil hutan kayu dan sektor lain

Pajak tanah menjadi sumber pendanaan pemerintah selama hampir seribu tahun

Pembahasan mengenai pajak tanah yang terkenal adalah oleh ahli ekonomi-politik AS, Henry George, yang berpendapat bahwa “karena nilai satu lokasi ditentukan oleh komunitas dan pemerintah, sewa ekonomi tanah adalah sumber pendanaan pemerintah yang paling logis.”

Harga yang dibayarkan untuk sebuah pohon berdiri disebut “tunggul” atau “royalti.” Royalti hasil hutan didasarkan atas nilai produk di pintu pabrik, biaya panen, dan transportasi.

Pembayaran REDD+, yang berasal dari sewa tanah maupun royalti, bisa jadi tak berarti jika mekanismenya tidak disiapkan dengan efektif, efisien, dan adil. Studi kasus berikut mendemonstrasikan isu ini.

Dimulai sejak tahun 1991, negara bagian Paraná di Brasil mengumpulkan pajak dari penjualan barang, jasa transportasi, dan komunikasi, dengan menggunakan dana tersebut untuk melindungi daerah yang kaya biodiversitas. Pajak ini disebut Imposto sobre Circulação de Mercadorias e Serviços – Ecológico (atau ICMS-E), yang merupakan pajak nilai tambah “ekologis” dan menyumbang lebih dari 90% dari pendapatan fiskal pemerintah negara bagian di Brasil.

Sebagian dari pendapatan pajak tersebut dialokasikan kembali kepada pemerintah kota sebagai kompensasi atas pendapatan yang hilang akibat adanya kawasan lindung. ICMS-E bertujuan sebagai mekanisme kompensasi dan insentif, mendorong peningkatan pengelolaan area perlindungan yang ada, serta penetapan area konservasi baru.

Beberapa studi telah menunjukkan adanya korelasi langsung antara pajak ekologis dan peningkatan kawasan lindung: total area perlindungan di negara bagian Paraná telah meningkat sebesar 164% sejak tahun 1991. Namun, indikator kualitas untuk memantau efektivitas lingkungan masih kurang.

Pajak ekologis Brasil memanfaatkan administrasi negara bagian yang sudah ada dan dapat menciptakan dukungan politik melalui pendekatan dari bawah untuk pelestarian hutan. Namun, hal ini membutuhkan transparansi dalam distribusi pendapatan.

Secara global, diperkirakan hanya antara 3% sampai 30% dari potensi nilai ekonomi dari kayu yang dikumpulkan oleh pemerintah[11]. Sebagai contoh, Indonesia mengumpulkan sekitar USD 272 miliar setiap tahun dari iuran sektor kehutanan, 70% di antaranya datang dari jadwal pembayaran yang tidak mempertimbangkan harga pasar dan tidak berubah sejak 1999[12]. Demikian juga pada 2016, pemerintah Indonesia hanya mengumpulkan 52% dari potensi pendapatan royalti kayu[13]. Masalahnya makin parah karena lemahnya tata Kelola menghambat pengumpulan pendapatan, dan pendapatan yang hilang tidak dapat diinvestasikan kembali dalam penegakan hukum dan mempertahankan staf yang baik[14]. Biaya eksternalitas lingkungan yang negatif harus ditetapkan lebih tinggi agar secara efektif menghalangi perilaku merusak lingkungan.

Sumber
[1] Assembe-Mvondo S, Wong G, Loft L and Tjajadi JS. 2015. Comparative assessment of forest revenue redistribution mechanisms in Cameroon: Lessons for REDD+ benefit sharing. Working Paper 190. Bogor, Indonesia: CIFOR.

[2] Yang AL, Wong G and Loft L. 2015. What can REDD+ benefit sharing mechanisms learn from the European Rural Development Policy?. Info Brief 126. Bogor, Indonesia: CIFOR.

[3] Morgan PJ and Trinh LQ. 2016. Fiscal Decentralization and Local Budget Deficits in Viet Nam: An Empirical Analysis. ADBI Working Paper 613. Tokyo: Asian Development Bank Institute. Accessed 11 July 2022..

[4] Pham TT, Ngo HC, Dao TL, Hoang TL and Moeliono M. 2021. Participation and influence of REDD+ actors in Vietnam, 2011–2019. Global Environmental Change 68:102249.

[5] Oo, T.N., Hlaing, E.E.S., Aye, Y.Y., Chan, N., Maung, M., Phyoe, S., .S., Pham, T.T., Maharani, C., Moeliono, M., Adi, G., Dwisatrio, B., Kyi, M.K.M., San, S.M., 2020. The context of REDD+ in Myanmar: Drivers, agents and institutions. Center for International Forestry Research (CIFOR).

[6] Kengoum, F., Pham, T.T., Moeliono, M., Dwisatrio, B., Sonwa, D.J., 2020. The context of REDD+ in the Democratic Republic of Congo: Drivers, agents and institutions, 2nd edition. Center for International Forestry Research (CIFOR).

[7] Loft L, Gebara MF and Wong GY. 2016. The experience of ecological fiscal transfers: Lessons for REDD+ benefit sharing. Occasional Paper 154. Bogor, Indonesia: CIFOR.

[8] Busch, J., Ring, I., Akullo, M., Amarjargal, O., Borie, M., Cassola, R.S., Cruz-Trinidad, A., Droste, N., Haryanto, J.T., Kasymov, U., Kotenko, N.V., Lhkagvadorj, A., De Paulo, F.L.L., May, P.H., Mukherjee, A., Mumbunan, S., Santos, R., Tacconi, L., Verde Selva, G., Verma, M., Wang, X., Yu, L., Zhou, K., 2021. A global review of ecological fiscal transfers. Nat Sustain 4, 756–765.

[9] Busch, J., Ring, I., Akullo, M., Amarjargal, O., Borie, M., Cassola, R.S., Cruz-Trinidad, A., Droste, N., Haryanto, J.T., Kasymov, U., Kotenko, N.V., Lhkagvadorj, A., De Paulo, F.L.L., May, P.H., Mukherjee, A., Mumbunan, S., Santos, R., Tacconi, L., Verde Selva, G., Verma, M., Wang, X., Yu, L., Zhou, K., 2021. A global review of ecological fiscal transfers. Nat Sustain 4, 756–765.

[10] Assembe-Mvondo S, Brockhaus M and Lescuyer G. 2013. Assessment of the effectiveness, efficiency and equity of benefit-sharing schemes under large-scale agriculture: Lessons from land fees in Cameroon. The European Journal of Development Research 25(4):641-56.

[11] Heine, D., Batmanian, G., Hayde, E., n.d. 2021. Designing fiscal instruments for sustainable forests.

[12] Corruption Eradication Commission (KPK). 2015. Preventing state losses in Indonesia’s forestry sector. Indonesia: KPK. Accessed 11 July 2022.

[13] Mumbunan, S., Wahyudi, R., 2016. Revenue loss from legal timber in Indonesia. Forest Policy and Economics 71, 115–123.

[14] Verhoeven, M., Magrath, W., Robbins, A., Kallaur, E., 2019. Mobilizing and Managing Public Forestry Revenue. World Bank, Washington, DC.