Jenis kegiatan

Banyak inisiatif percontohan REDD+ berfokus pada kegiatan konservasi hutan yang melibatkan petani kecil yang kurang mampu ekonomi dengan menyediakan mata pencarian dan kesejahteraan sosial[1]. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas jika mereka merupakan pelaku yang mendorong deforestasi dan degradasi hutan.

Tinjauan terhadap strategi negara REDD+ menyoroti bahwa sebagian besar cenderung berfokus pada kegiatan untuk mengurangi degradasi hutan dan meningkatkan stok karbon hutan dibandingkan dengan mengatasi deforestasi yang biasanya disebabkan oleh pelaku komersial besar[2]. Disarankan agar Intervensi tidak hanya terfokus pada kegiatan untuk mengurangi deforestasi, tetapi juga pada kegiatan REDD+ terkait dengan hutan lainnya, seperti pengelolaan hutan yang lestari yang mengurangi degradasi hutan dan meningkatkan stok karbon hutan[3].

Perladangan atau swidden agriculture, juga dikenal sebagai tebas-bakar, secara historis merupakan salah satu penggunaan lahan paling luas di dataran tinggi Asia Tenggara. Di dua desa di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia di mana Program Karbon Hutan Berau atau Berau Forest Carbon Program (BFCP) diluncurkan, penduduk desa merasa tertekan akibat persaingan penggunaan lahan yang didorong secara langsung dan tidak langsung oleh sektor perkebunan dan pertambangan. Perluasan yang cepat konsesi pertambangan dan kelapa sawit meningkatkan persepsi ketidakpastian tenurial yang mendorong pembukaan lahan yang spekulatif dan kontroversial.

Pada tingkat desa dan kabupaten, pengendalian perladangan berpindah menjadi fokus pengembangan tata kelola hutan oleh pemangku kepentingan eksternal, seperti pemerintah, perusahaan dan kelompok konservasi. Upaya pembatasan ladang berpindah dan pengembangan mata pencarian alternatif, dimaksudkan untuk membatasi dan meminimalkan area pertanian masyarakat dan mencegah perubahan lahan yang kontroversial. Tersedia inisiatif masyarakat dan inisiatif penebangan berkelanjutan, seperti penyediaan dukungan bagi perusahaan penebangan untuk mengadopsi metode penebangan berdampak rendah dan mencapai sertifikasi berkelanjutan. Akan tetapi, pembatasan perladangan berpindah memainkan peran penting dalam pembukaan ruang untuk penggunaan lahan industri (konsesi penebangan dan kelapa sawit). Proyek REDD+ sejauh ini belum berhasil untuk mengikutsertakan perusahaan besar. Pemerintah telah mengeluarkan seri kebijakan untuk mendukung REDD+, di antaranya adalah Instruksi Presiden nomor 98 tahun 2021 mengenai nilai ekonomi karbon tetapi implementasi masih berjalan perlahan. Hampir tidak ada partisipasi dalam BFCP oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman maupun sektor pertambangan. Melupakan penggunaan lahan industri ini dalam rezim tata kelola hutan melemahkan upaya untuk membatasi pembukaan lahan yang kontroversional dan mengakibatkan kegagalan untuk mengurangi deforestasi tingkat kabupaten. Mencegah dan mengurangi perubahan lahan yang kontroversial dan deforestasi tidak akan mungkin dilakukan jika tidak menangani perluasan perkebunan dan pertambangan. Kasus ini menyoroti bahwa menetapkan masyarakat lokal sebagai kelompok sasaran secara politis lebih mudah dibandingkan dengan mengatasi kekuasaan pendorong deforestasi skala besar yang terkait dengan ambisi pertumbuhan nasional[4].

Sumber

[1] Lin, L., Sills, E., Cheshire, H., 2014. Targeting areas for Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD+) projects in Tanzania. Global Environmental Change 24:277–286.

[2] Salvini, G., Herold, M., De Sy, V., Kissinger, G., Brockhaus, M., Skutsch, M., 2014. How countries link REDD+ interventions to drivers in their readiness plans: implications for monitoring systems. Environmental Research Letters 9(7):074004.

[3] Wong, G.Y., Luttrel, C., Loft, L., Yang, A., Pham, T.T., Naito, D., 2019. Narratives in REDD+ benefit sharing: examining evidence within and beyond the forest sector. Climate Policy 19, 8.

[4] Thaler, G.M., Anandi, C.A.M., 2017. Shifting cultivation, contentious land change and forest governance: the politics of swidden in East Kalimantan. The Journal of Peasant Studies 44, 1066–1087.