Proses pengambilan keputusan dalam desain dan implementasi

Mekanisme pembagian manfaat harus dapat memastikan proses pengambilan keputusan melibatkan banyak pemangku kepentingan, transparan, dan ada mekanisme pengaduan.

Legitimasi pengaturan pembagian manfaat REDD+ mengharuskan konsultasi inklusif dan partisipasi kelompok yang menganggap diri sebagai pemangku kepentingan, seperti lembaga dan aktor lokal, dan pemimpin traditional dan pribumi. Sebuah studi banding menemukan partisipasi perempuan dan pemahaman dasar mengenai REDD+ di lima negara (Peru, Brasil, Indonesia, Vietnam, dan Kamerun) hanya sekedar menghadiri pertemuan dan pelatihan, sedangkan kelompok pengguna hutan yang didominasi laki-laki terlibat aktif dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, pemantauan, dan kegiatan penegakan aturan[1]. Elit lokal di banyak komunitas pedesaan dan hutan juga menguasai akses terhadapinformasi dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan lokal. Akibatnya mereka memperoleh manfaat yang lebih besar dan dengan demikian membatasi kesetaraan dalam pengambilan keputusan. Proses top-down sering kali berupa penyampaian informasi atau keputusan dan tidak benar-benar melibatkan kelompok lokal dalam pengambilan keputusan. Maka usaha konservasi bisa jadi sia-sia.

Sebuah studi yang menyelidiki bagaimana pelaku berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam proyek percontohan REDD+ di Kondoa, Tanzania, mengungkapkan bagaimana partisipasi tidak mendorong pemberdayaan jika struktur dan proses partisipasi memperkuat perbedaan kekuasaan. Oleh karena itu, merupakan hal yang penting bahwa kebijakan global dan nasional dapat memastikan bahwa struktur tata kelola REDD+ memperhitungkan variasi kekuasaan antar pemeran yang beroperasi di tingkat yang berbeda.

Proyek percontohan REDD+ melibatkan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi karena adanya intervensi khusus, termasuk meminta persetujuan dari masyarakat yang berpartisipasi, perencanaan penggunaan lahan, melakukan pembayaran dan memutuskan untuk mengatur pembagian manfaat. Penduduk setempat berpartisipasi dalam serangkaian pertemuan terpisah untuk membuat keputusan terkait proses. Hal ini memungkinkan penduduk desa untuk mengendalikan sebagian besar keputusan dan menerima informasi yang ada. Secara keseluruhan, sikap terhadap proyek dan pengambilan keputusan merupakan hal yang positif karena tingginya tingkat keterlibatan masyarakat dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, ternyata ada beberapa pemimpin desa yang mengambil alih agenda dan pelaksana proyek REDD+ dan pejabat kabupaten yang menghambat pembahasan isu tertentu mengenai REDD+. Ada pemimpin yang menggunakan mandat mereka untuk mengadakan pertemuan untuk menyampaikan informasi berdasarkan kepentingan mereka atau menolak untuk mengadakan pertemuan sepenuhnya. Pelaksana proyek dan pejabat kabupaten diberi mandat untuk menyebarkan informasi tetapi memiliki fleksibilitas menentukan jenis informasi yang akan disampaikan kepada masyarakat lokal. Meskipun ada saran dari Yayasan Satwa Liar Afrika dan pejabat publik untuk membagi 80% manfaat bagi masyarakat, saran ini tidak dibahas selama rapat umum
di desa. Yang dibahas adalah penyusunan kriteria untuk melakukan pembayaran dan bagaimana mengalokasikan uang tersebut ke berbagai proyek masyarakat.

REDD+ di Kondoa mencontohkan bagaimana struktur tata kelola pada tingkat internasional dan nasional dapat memengaruhi pengambilan keputusan di tingkat lokal. Sistem desentralisasi di Tanzania membantu penduduk setempat untuk melawan sebagian kekuasaan tingkat yang lebih tinggi dengan memungkinkan mereka untuk memutuskan aturan yang ditawarkan dan secara umum bagaimana program REDD+ harus diatur. Tantangannya adalah bagaimana menangani secara efektif dinamika kekuasaan[2].

Sebuah studi di Vietnam menemukan bahwa peran dominan lembaga pemerintah untuk membuat kebijakan REDD+ menyisakan ruang politik yang terbatas bagi pelaku non-negaraseperti, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat sipil untuk memberikan pengaruh pada hasil akhir dari kebijakan. Akan tetapi, dalam konteks yang sangat tersentralisasi inipun,ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa ada ruang politik dalam pengambilan keputusan untuk pelaku di luar negara yang mampu mengusulkan opsi kebijakan alternatif.

Pemangku pentingan yang utama tidak hadir dalam diskusi utama REDD+, yaitu pelaku yang berkaitan dengan pendorong utama deforestasi dan degradasi hutan di Vietnam, termasuk produsen pertanian skala besar misalnya, asosiasi kopi dan teh Vietnam, asosiasi perikanan serta kayu dan furnitur skala besar perusahaan. Tanpa mempertimbangkan kepentingan kelompok ini, kebijakan REDD+ tidak akan mampu mengatasi deforestasi secara efektif. Selanjutnya, tidak ada perwakilan kelompok rentan, seperti masyarakat pribumi dan masyarakat miskin yang dilibatkan dalam proses konsultasi. Organisasi masyarakat seperti serikat pekerja perempuan atau asosiasi petani turut absen dalam pengambilan keputusan REDD+. Kepentingan akar-rumput diharapkan terwakili melalui organisasi massa, tetapi di dalam praktiknya hal ini tidak sering terjadi.

Permasalahan yang ada bukan hanya tiadanya lembaga swadaya masyarakat, tetapi lebih pada proses yang tidak representatif; ada suara (terutama, pelaku negara) diberi bobot yang lebih dibandingkan dengan yang lain (misal LSM). Pertemuan konsultasi, sebagai alat untuk memenuhi persyaratan partisipasi tampaknya kurang efektif dan kurang memadai untuk memasukkan saran dan pendapat dari lembaga swadaya masyarakat internasional dan untuk menghasilkan umpan balik yang serius. Menurut sebagian besar orang yang diwawancarai, pemerintah dan donor mengadopsi proses tata kelola partisipatif terutama untuk memenuhi persyaratan secara internasional. Motivasi yang kurang kuat ini mungkin saja berkontribusi pada ketidakefektifan konsultasi. Akibatnya juga tidak ada cukup insentif bagi pemangku kepentingan untuk mempertahankan keterlibatan dalam proses politik. Memastikan pengambilan keputusan yang inklusif dan bertanggung gugat, memerlukan perubahan tata kelola dari pendekatan tradisional top-down menjadi pengambilan keputusan yang lebih partisipatif[3].

Sumber

[1] Larson, A.M., Dokken, T., Duchelle, A.E., Atmadja, S., Resosudarmo, I.A.P., Cronkleton, P., Cromberg, M., Suderlin, W., Awono, A., Selaya, G. 2015. The role of women in early REDD+ implementation lessons for future engagement. International Forestry Review 17.1.

[2] Nantongo, M., Vatn, A., 2019. Estimating Transaction Costs of REDD+. Ecological Economics 156, 1–11.

[3] Pham, T.T., Di Gregorio, M., Carmenta, R., Brockhaus, M., Le, D.N., 2014. The REDD+ policy arena in Vietnam: participation of policy actors. E&S 19, art22.